Sabtu, 07 Mei 2011

KIKI DALAM KENANGAN

Saya mengenal Kiki saat masuk SMA Perguruan Cikini di Duren Tiga. Persahabatan kami termasuk unik, karena saya tidak pernah satu kelas dengannya, juga dengan dua orang sahabat saya lainnya, Sandra dan Ririn. Di kelas satu, saya masuk ke kelas I.4, Ririn di I.7, Sandra dan Kiki di II.2. Naik ke kelas dua, saya justru terpisah sendiri di II A2.2 dan ketiga sahabat saya itu masuk ke kelas II A2.1. Kami biasa bermain berempat. Karena postur tubuh kami yang termasuk kecil (kecuali Sandra yang lebih tinggi sedikit) kami berempat dijuluki Tim Ceper oleh anak-anak di sekolah.
Tiap jam istirahat, Kiki, Sandra dan Ririn selalu setia menunggu saya keluar kelas untuk pergi ke kantin bersama-sama. Apabila kelas saya yang keluar lebih dulu, maka saya sendirian yang menunggu mereka.

Keceriaan hari-hari kami di sekolah tidak lepas dari kehadiran Kiki yang selalu membawa guyonan segar ke tengah kami. Tidak ada hari tanpa tertawa ‘ngakak’ di sekolah. Ada-ada saja yang kami tertawakan yang tidak lucu menjadi sangat lucu. Sering kami dimarahi orang di Kopaja (bus favorit kami setiap pulang sekolah) karena selalu bikin ribut ditengah bus yang panas dan penuh sesak.

Di kelas pun demikian. Meskipun saya tidak melihatnya langsung karena saya terpisah sendiri, cerita tentang kelucuan Kiki selalu diulang saat kami berempat berkumpul sepulang sekolah. Ia sungguh cerdas dalam melemparkan kalimat-kalimat yang bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak. Ia melihat segala sesuatu dari sisi humor. Suasana akan sangat berbeda ketika ia tidak masuk sekolah. Sepi.

Naik ke kelas tiga, saya pindah dari Perguruan Cikini, melanjutkan ke SMU 14. Tapi persahabatan saya dan Kiki juga Sandra dan Ririn tetap berlanjut. Kami tetap rutin bertemu. Biasanya hari Sabtu sepulang sekolah, kami jalan-jalan ke Blok M. Makan di Kentucky, di Burger King atau Dairy Queen di seputar jalan Melawai Raya. Kami bisa berjam-jam duduk di restoran; ngobrol, ‘ngetawain orang’ , membahas guru-guru yang dimata kami anggap ‘aneh’. Sering saking lamanya kami tidak beranjak dari restoran, pelayan secara tidak langsung mengusir kami dengan mengambil piring dan gelas (kadang masih ada isinya).

Lepas dari sekolah menengah, saya melanjutkan kuliah di IISIP, Kiki dan Ririn masuk ke Universitas Pancasila, Sandra memilih untuk berkarir sebagai pramugari di Garuda Indonesia. Kami masih tetap menyempatkan diri untuk saling bertemu. Terus sampai saat ini, kami menikah dan punya anak.

Akhir tahun 2007 dengan menangis terharu Kiki bercerita kepada saya, bahwa ia mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Setiap tahun perusahaan tempatnya bekerja mengirimkan tiga orang karyawannya untuk pergi ke Mekah dengan cara diundi. Dengan airmata haru ia menyampaikan pada saya, ia sangat senang karena namanya yang keluar. Menurutnya, ia memang tidak mau menginjakkan kaki ke luar negeri sebelum pergi berhaji. Tidak habis-habisnya ia berujar pada saya, “Kok bisa gue ya De yang kepilih, padahal di kantor kan ada ratusan orang yang ikut diundi…”

Sepulang dari berhaji, Kiki memutuskan memakai jilbab. Namun disisi lain saya perhatikan, kesehatannya mulai sering terganggu. Beberapa kali kami membatalkan janji bertemu karena ia tiba-tiba terserang demam. Kira-kira delapan bulan silam, Kiki menemukan ada yang tidak beres di sekitar lehernya. Saya pun demikian. Saya lihat wajahnya kelihatan lebih bulat. Ia pun mulai mencari tahu dengan mengunjungi beberapa dokter. Dari spesialis penyakit dalam, THT sampai dokter gigi. Jawabannya semua tidak memuaskan. Lehernya masih saja sakit.

Sekitar awal bulan Januari tahun ini, Kiki akhirnya menemukan dokter yang menurutnya mampu menangani penyakitnya, kanker kelenjar getah bening. Ia mulai menjalani perawatan di rumah sakit Medistra. Ia menolak saran saya untuk berobat di Dharmais. Saya menghargai keputusannya, karena ia sendiri yang akan menjalani pengobatan tersebut.

Selama di rumah sakit, setiap ada kesempatan saya berusaha untuk menjenguknya. Di tengah sakitnya, ia masih melontarkan gurauan-gurauan lucunya. Semangat hidupnya begitu tinggi, membuat saya begitu yakin bahwa ia pasti sembuh. Pernah dalam satu masa, jari-jarinya begitu sangat sakit, sehingga ia tidak mampu menekan keypad handphonenya. Saya yang setiap hari mengirim ucapan selamat pagi melalui mesengernya begitu kuatir, kenapa tidak ada lagi jawaban seperti biasanya.

Pernah juga telinganya mengeluarkan darah, sehingga ia tidak bisa mendengar. Jadi saat saya datang menjenguknya, kami berdua hanya saling senyum dan tangan kami saling menggenggam. Kiki tidak pernah mengeluh dalam sakitnya. Hanya sekali ia menangis sambil bercerita pada saya, bahwa ada yang mengatakan padanya bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Kalau benar begitu, sungguh tega yang mengatakan hal itu padanya.

Kemoterapi yang harus dijalani Kiki sebagai upaya penyembuhannya tidak berjalan mulus. Jumlah trombositnya hanya berkisar 15000an, setelah ditransfusi trombosit pun cuma sampai di angka 30000. Setiap dua hari sekali ia harus transfusi trombosit, dan itu sudah berjalan selama hampir tiga bulan. Dengan jumlah trombosit yang demikian, kecil kemungkinan dokter berani melakukan tindakan kemoterapi untuknya.

Dua minggu lalu saya kembali menengoknya. Saya lihat dia kelihatan lebih segar. Kami berdua tidak habis-habisnya tertawa, mengingat kejadian masa-masa kami di SMA. Saya begitu bahagia melihat seringai lebarnya. Saya masih yakin ia akan sembuh. Saat pamit, seperti biasa matanya berkaca-kaca. Kiki selalu menangis bila saya harus pulang. “I love you De…” katanya. “I love you too Ki…cepet sembuh ya…semangat…’ begitu jawab saya seperti biasanya. Sungguh-sungguh saya tidak amenyangka, bahwa itulah kalimat terakhir yang saya dengar darinya.

Minggu, jam 16.30 tanggal 3 April 2011; Kiki pergi untuk selamanya setelah selama lima hari menjalani kemoterapi. Ia meninggal dalam tidurnya. Saya kaget luar biasa. Betapa saya sangat tidak siap melihatnya pergi. Semangat hidupnya yang begitu besar, sungguh menutup mata saya untuk melihat realitas yang sebenarnya. Bahwa penyakitnya memang sudah sangat parah.

Tapi Tuhan memang maha baik. Ia tentu tidak mau membiarkan Kiki terus berada dalam penderitaannya. Kiki bukan hanya sekedar sahabat dalam diri saya, dia adalah saudara perempuan saya dan juga belahan jiwa saya…Saya harus merelakan dia pergi, meski kini masih terasa sedih saat teringat masa-masa bersamanya.

Salah satu pojok di Starbucks Café di Plaza Senayan, adalah tempat favorit kami. Tempat kami berdua duduk sepanjang malam; tertawa, berkeluh kesah, minum Ice Green Tea kesukaannya…sampai bangku-bangku café dinaikkan ke atas meja, sampai lantai café disapu dan dipel, sampai lampu-lampu café dimatikan…
Selamat jalan Kiki sayang…*

KETIKA TIBA WAKTUNYA

Entah kenapa, membuat tulisan kali ini terasa sangat amat susah. Biasanya saya begitu gembira jika mendapat tugas menulis di luar pekerjaan rutin. Karena saya lebih bebas mengungkapkan segala isi kepala tanpa harus mematuhi rambu-rambu tertentu. Tiga bulan telah berlalu dari seharusnya tulisan ini dikumpulkan. Nyatanya, belum juga selesai. Padahal sejak saat itu, tak henti saya berpikir, apa yang akan saya bagikan ke teman-teman nanti. Tapi kok ide itu tidak kunjung datang. Rasanya memang tidak ada lagi yang perlu diceritakan.

Tahun 2009 saya pernah menulis tentang kilas balik hidup saya di tahun itu. Ketika itu semuanya mengalir dengan lancar, karena memang sudah tahu betul apa yang akan diungkapkan. Semuanya sudah digodok di kepala selama berhari-hari. Tapi kali ini karena tugas memang harus dikumpul dan saya ingin segera mengganti kacamata baru (karena minusnya bertambah lagi) – tahu kan maksudnya apa…heheee…jadi tulisan ini memang harus segera selesai…

Tidak ada peristiwa istimewa sepanjang tahun 2010 silam. Tapi ada satu pengalaman yang membuat saya sering bertanya, kok bisa ya...Untuk pertama kalinya, sejak saya bergabung dengan Diagonal, saya mendapat tugas keluar pulau Jawa. Bayangkan…jaman jadi wartawan saja, perjalanan saya paling jauh cuma ke Semarang, memenuhi undangan Departemen Perhubungan meluncurkan kereta Argo Anggrek. Selebihnya, banyak berkutat di Jakarta, meliput demonstrasi dan mengejar pernyataan-pernyataan pejabat yang kebanyakan asal ngomong itu.

Maka, ketika nama saya masuk ke dalam daftar awak yang ikut syuting di Bali, senangnya bukan kepalang. Jauh-jauh hari sudah ‘pengumuman’ kepada para kerucits, bahwa saya akan meninggalkan mereka beberapa hari. Sukur mereka tidak keberatan, meskipun selama hidup mereka belum pernah ditinggal berhari-hari oleh ibunya.
Kejutan berikutnya, di hari tugas pertama saya menginjakkan kaki di Denpasar, kopor saya melayang entah kemana. Tunggu punya tunggu di tempat pengambilan bagasi di Ngurah Rai, si hijau toska warna kopor saya itu, masih juga tidak kelihatan wujudnya. Ujung-ujungnya, saya harus melapor ke bagian kehilangan barang dan terpaksa meninggalkan bandara hanya dengan satu tas kecil di tangan berisi dompet dan telepon. Hati saya ciut membayangkan nanti sore ganti baju pakai apa, karena semua pakaian ada di dalamnya. Untunglah sekitar pukul enam sore, yang saya nanti-nantikan tiba dengan selamat di hotel. Konon benda itu terbawa ke pesawat jurusan Balikpapan. Apapun itu, saya sangat bersukur, karena akhirnya sang kopor kembali ke pelukan saya.

Awal tahun ini, saya kembali mendapat tugas ke luar pulau, kali ini ke negeri tetangga. Bahkan, dalam bulan Januari-Februari, saya tiga kali bolak-balik ke negeri itu. Ah, gayanya sudah seperti perempuan karir saja. Pertanyaan saya masih tetap sama, kok bisa ya…

Hampir delapan tahun saya hanya berdiam di rumah mengurus anak dan rumah tangga. Saya sering merenungi nasib ijasah sarjana saya, ternyata tidak ada gunanya. Kadang menyesali, kenapa dulu orangtua menyekolahkan saya sampai tingkat tertinggi, kalau akhirnya mereka justru melarang saya bekerja. Hati saya sering berontak, badan sampai kurus kering menunggu jawaban, “Mengapa aku beginiii…” mengutip syair lagu band Naif..

Namun dibalik itu semua, saya masih punya keyakinan bahwa Tuhan punya rencana dalam hidup saya. Keyakinan saya ternyata benar, kuncinya memang harus sabar. Kesabaran saya menunggu anak-anak besar dan bisa mandiri ternyata berbuah hasil. Keinginan orangtua agar saya mengurus anak dulu ternyata ada benarnya. Saat pekerjaan itu datang, saya tidak kuatir meninggalkan mereka di rumah; karena dua kerucit kecil itu sudah tahu apa-apa saja yang mereka harus lakukan saat ibunya tidak ada bersama mereka.

Sungguh saya bersukur apa yang sudah saya miliki saat ini. Semuanya diluar bayangan. Sebelumnya saya adalah tipe orang yang tidak berani bermimpi, hanya karena saya takut kecewa. Tapi bertemu dengan teman-teman di Diagonal, terutama Teh Inka yang begitu menginspirasi saya, kini saya tidak takut lagi bermimpi. Berapapun umur kita, apapun kemampuan kita, jikalau diiringi dengan kesabaran dan niat baik, Tuhan pasti memberikan jalan dengan caranya yang unik dan tidak terduga. *

Senin, 10 Mei 2010

MENJADI SEORANG AYAH BECOMING A FATHER

Tidak ada lingkungan budaya yang membatasi definisi sosial gender atas perbedaan biologis antarjenis kelamin. Namun di setiap anggota masyarakat di berbagai budaya, memiliki fungsi universal, seperti mengasuh anak, mencari makan/nafkah, mengambil keputusan dan mengisi peran sebagai pemimpin. Akibatnya terdapat peran-peran sosial yang kemudian dikaitkan pada gender tertentu, (Saparinah Sadli).

Serafina tidak sakit, hanya tidak mau minum. Bibirnya kering, kulit di bawah mata kirinya terkelupas. Kuatir telah terjadi sesuatu dalam tubuhnya, saya membawanya ke rumah sakit langganan di Salemba, St. Carolus.

Seperti biasa, dokter Utami Roesli yang merawat Serafina sejak lahir, selalu memasukkan beberapa pasien sekaligus ke dalam ruangannya. Tujuannya agar sesama pasien bisa saling berbagi pengalaman. Ketika kami masuk ke dalam tempat praktek dokter, di situ sudah ada satu pasangan muda dengan bayinya yang baru berumur seminggu dan ibu mertua dari ibu si bayi.

Bayi terus menangis. Si ibu hanya duduk diam di hadapan dokter, begitu juga ayahnya. Ibu mertua sibuk menenangkan si bayi. Saya bertanya dalam hati, kenapa bukan ibu atau ayah si bayi yang menggendong anaknya. Bukankah sentuhan seorang ayah adalah obat paling ampuh dalam menenangkan si kecil yang gelisah? Usut punya usut, ternyata Ibu si lelakilah (Ibu mertua dari ibu si bayi) yang tidak mengijinkan putranya tersebut menggendong anaknya sendiri. Menantu perempuannya pun tidak ia perkenankan menggendong karena ia tidak yakin ibu si bayi bisa menenangkan anaknya.

Di mata saya, pemandangan itu sungguh ironis. Bagaimana bisa sepasang orangtua tidak diijinkan untuk memegang anaknya sendiri. Saya teringat peristiwa sembilan tahun lalu. Waktu itu, saya menghadiri sebuah acara yang diadakan oleh keluarga besar pasangan saya. Karena kedua anak saya masih kecil (anak pertama belum genap dua tahun, dan yang kedua berumur kira-kira enam bulan), tentu tidak mungkin bila saya menggendong keduanya. Karena itulah saya dan pasangan berbagi tugas. Masing-masing menggendong satu anak. Satu hal yang sangat logis menurut saya.

Tapi dengarlah apa komentar orang-orang tua melihat pasangan saya menggendong anak kami, “Berikan anakmu ke ibunya, masa kau yang gendong…,” begitu kata mereka. Spontan saya menjawab, tanpa bermaksud tidak sopan, “Kami membuat anak ini bersama-sama, maka sudah kewajiban kami pula untuk mengasuh dan membesarkannya bersama-sama.”

Tidak ada lingkungan budaya yang membatasi definisi sosial gender atas perbedaan biologis antarjenis kelamin. Namun, di setiap anggota masyarakat di berbagai budaya memiliki fungsi universal, seperti mengasuh anak, mencari makan/nafkah, mengambil keputusan, dan mengisi peran sebagai pemimpin. Akibatnya terdapat peran-peran sosial yang kemudian dikaitkan pada gender tertentu.

Meskipun hal ini tidak berarti ada fungsi tertentu yang harus dilakukan oleh perempuan atau laki-laki, kalau suatu peran sudah dikaitkan dengan salah satu gender, peran tersebut diberikan makna simbolis tertentu. Sebagai contoh, jika mengasuh anak dianggap perlu dilakukan oleh perempuan, mengasuh anak juga dapat mengembangkan keyakinan masyarakat bahwa menjadi ibu dan pengasuh anak-anak adalah ukuran positif keperempuanannya (Berbeda tetapi Setara, Saparinah Sadli).

Kenyataannya, sebagian besar pola pikir masyarakat memang masih seperti itu. Tapi tahukah anda bahwa peran seorang ayah dalam urusan mengasuh anak mempunyai efek luar biasa terhadap pertumbuhan dan perkembangan jiwa si anak?

Saya bukan seorang ahli, tulisan ini pun dibuat hanya berdasarkan pengalaman pribadi, hasil kunjungan rutin dengan dokter Utami Roesli, setiap kali saya membawa anak-anak ke Carolus dan beberapa bacaan referensi. Apa yang saya ketahui itu sudah saya aplikasikan kedalam kehidupan saya sehari-hari. Saya puas dengan hasilnya.

Jadi apa yang bisa dilakukan seorang ayah dalam urusan pengasuhan anak? Menurut dokter Utami Roesli, belaian tangan ayah di punggung si kecil ketika ia sakit, bisa membantu mempercepat proses kesembuhannya. Saya sudah melakukan itu. Ketika ada anak yang sakit, pasangan saya selalu menyempatkan diri untuk bersamanya. Menimangnya, menggantikan bajunya, membacakan buku, juga menyanyikan lagu-lagu kesukaannya. Bila banyak anak rewel ketika sakit, tidak demikian dengan anak-anak saya. Sentuhan dan usapan sayang dari si ayah, saya yakini mempercepat proses penyembuhannya. Anak kuat menjalani masa-masa sulitnya.

Apabila suatu ketika anak gelisah atau tidak bisa tidur, dekaplah anak di dada ayah. Detakan jantung sang ayah menjadi alunan melodi yang indah di telinga anak, membuatnya merasa nyaman dan dilindungi.

Bagi ayah bekerja, faktor waktu memang kadang menjadi ganjalan untuk bisa melakukan semua itu. Tapi itu bukan halangan, bila ada waktu luang, seperti hari libur, bermainlah ayah bersama anak-anak. Bantulah anak mengerjakan PRnya. Di satu rubrik psikologi, saya pernah membaca bahwa anak lebih cepat mengerti pelajarannya ketika penjelasannya dilakukan oleh ayah. Komunikasi intens dengan ayah ternyata ikut membantu merangsang perkembangan otak anak untuk lebih optimal.

Sisakan sedikit waktu untuk mendengarkan keluh kesah anak, biarkan dia bercerita tanpa menghakiminya apabila ia melakukan sesuatu hal yang salah. Bernyanyilah bersama anak. Suara ayah yang tegas membuat anak selalu merasa nyaman di dekatnya. Kualitas pertemuan tentu lebih penting daripada kuantitas. Akhirnya hubungan antar ayah-anak, ibu-ayah akan terjalin baik. Ibu yang sudah begitu repot dengan urusan domestik rumahtangga, tentu merasa terbantu dengan peran serta ayah dalam pengasuhan anak. Keuntungan bagi si anak sendiri adalah, kedekatannya dengan sang ayah menumbuhkan rasa percaya diri, sehingga memudahkan anak dalam bersosialisasi di lingkungan rumah maupun sekolah. Membuatnya menjadi anak yang tahan banting terhadap berbagai masalah yang dihadapinya, sekarang dan di masa datang.

Sosialisasi yang mengarah pada perkembangan manusia seutuhnya merupakan kemungkinan pengembangan sifat-sifat yang secara potensial memang tersedia dalam diri setiap manusia. Maka, jelas bahwa perbedaan antarjenis bukan untuk menentukan superioritas-inferior antara perempuan dan laki-laki, tetapi sebagai pengembangan ciri khas yang diperlukan untuk tujuan bersama, yaitu mengembangkan potensi diri sebagai manusia (Carl G. Jung).

**Tulisan ini bukan bermaksud menggurui, sekedar berbagi pengalaman; semoga ada manfaatnya bagi teman-teman

Pondokgede, Minggu 9 Mei 2010

IBU DAN WARTAWAN

Dari kecil saya memang ingin jadi wartawan. Untunglah sudah kesampaian. Meskipun belum sempat bertemu tokoh-tokoh dunia, macam Princess Diana atau Nelson Mandela. Pernah juga sih, wawancara singkat Mohammad Ali, ketika ia datang ke Jakarta. Tapi selebihnya, paling banter ketemu pejabat yang asal ngomong atau artis yang kalau diwawancara lebih banyak nggak nyambungnya. Tapi senang juga kalau ada tugas meliput kerusuhan atau demonstrasi mahasiswa, apalagi kalau disuruh juga minta pendapatnya Gus Dur.

Sebetulnya ada lagi cita-cita saya, jadi orang terkenal. Tapi itu bisa sambil jalan ketika saya berprofesi sebagai wartawan. Kalau berita saya sering dimuat dan dibaca orang, tentu saya bisa jadi terkenal seperti Anderson Cooper atau Cindy Adams. Atau kalau di sini, ada pak Budiarto Syambazy.

Namun, itu juga tidak tercapai. Boro-boro jadi wartawan top, baru empat tahun jadi jurnalis, majalahnya sudah keburu kolaps sampai akhirnya mampus. Kehabisan modal plus kalah gertak sama agen yang sudah dibriefing oleh majalah G untuk tidak mengeluarkan majalah saya dari gudang sebelum majalah G tersebut beredar. Untunglah majalah G itu sekarang nasibnya kurang lebih sama dengan majalah saya yang sudah almarhum itu. Hidup segan, mati tak mau. Kena karma, mungkin…

Sekarang saya mau membahas soal puisi yang berjudul ‘Ibu dan Facebook’. Konon, puisi itu sudah beredar ke seantero jagad manusia facebook. Videonya pun sudah masuk ke jaringan u tube. Opini yang berkembang macam-macam. Dari yang memuji kepintaran si anak menganalisa kelakuan ibunya, sampai hujatan bebas terhadap ibu si anak yang dianggap telah menelantarkan putrinya karena tergila-gila pada facebook.

Pendapat terakhir ini sungguh sangat menyebalkan. Sebelumnya sih tidak masalah. Tapi kalau kemudian ada wartawan yang bertanya pada ibunya begini: “Apakah fb membuat waktu ibu dan keluarga berkurang? Jika berkurang, seberapa banyak? Apa yang ibu lakukan untuk ‘menebusnya’? Menebusnya?? Golly geee….!

Biarkan saya merenung sejenak. Si ibu tidak punya kerjaan tetap di luar rumah. Rutinitas yang ia lakukan sehari-hari adalah mengurus anak dan rumah tangga, karena ia tidak mau menggunakan jasa pembantu. Setiap hari jam lima pagi ia sudah bangun. Menyiapkan sarapan dan bekal untuk kedua anaknya di sekolah. Pukul 6.30, anak-anak berangkat ke sekolah. Setelah itu, ia pun belanja sayur mayur ke warung terdekat. Memasaknya sambil menunggu pakaian dicuci di mesin cuci. Ketika semua masakan beres, ibu mulai menjemur pakaian. Kelar menjemur, ia merapikan kamar tidur, menyapu dan mengepel seluruh ruangan rumah. Apabila belum terlalu lelah, ia membersihkan kamar mandi.

Pukul satu siang, anak-anak pulang dari sekolah. Ibu menyiapkan makan siang, dan menemani tidur. Sore hari, selepas mandi, anak-anak didampingi ibu membuat pe er dan menyiapkan buku untuk dibawa keesokan harinya. Malam, jam tujuh, ibu kembali menata meja makan untuk makan malam. Setelah itu, cuci piring. Tepat jam sembilan, anak-anak cuci kaki dan sikat gigi sebelum naik ke tempat tidur. Sebelum tidur, ada ‘sesi’ curhat antara ibu dan anak. Ibu memperbolehkan anak-anaknya bercerita atau menanyakan segala hal. Ia akan menjawab sesuai kemapuannya. Jika ibu tidak tahu jawabannya, ia akan berkata, akan mencari tahu lewat buku atau internet. Pukul sepuluh malam, anak-anak sudah lelap. Ibu sudah letih, tapi ia tidak bisa tidak, untuk menuliskan pikiran-pikiran atau berbagai pendapatnya mengenai segala hal.

Saat itulah, ibu membuka notebooknya. Sekedar menuliskan beberapa kalimat atau menyapa teman-temannya di facebook. Setelah selama satu hari penuh ia hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga, tanpa bisa berinteraksi dengan orang lain. Kecuali dengan tukang roti, tukang sampah atau tukang sayur.

Anak perempuan kecil, si penulis puisi ‘Ibu dan Facebook’ memang betul-betul terkesima dengan fenomena facebook. Dan itu juga dilihatnya di dalam rumah. Perubahan ibunya dari yang lebih sering memegang buku jadi pada notebooknya adalah pemandangan baru baginya. Karena ia juga telah beberapa kali membaca pembahasan mengenai facebook di berbagai media massa. Imajinasi seorang anak seringkali berkembang luar biasa pesat, kadang diluar jangkauan pemikiran orang dewasa. Dan ketika hal itu terjadi, masyarakat yang terbiasa melihat produk instan seakan tercengang. Tidak menyangka, seorang anak kecil bisa berpikir kritis, daripada hanya sekedar mengikuti arahan director untuk menangis atau tertawa tanpa ia mengerti maksudnya.

Pendapat tidak cerdas pun bertebaran. Penyakit lama masyarakat, tidak perlu mikir lama-lama karena volume otak juga tidak mendukung: cari saja kambing hitam. Kambing hitamnya adalah si ibu. Anak bisa bikin puisi macam begitu karena ibunya sudah ‘parah’, si anak tidak diurus ibunya, bla…blaa…blaaa….Memang paling gampang beropini, tanpa memedulikan proses kreativitas si anak sesungguhnya.

Menengok latar belakang si kecil pembuat puisi tadi, kegiatan ‘mari mengarang’ sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Orangtua membiasakan anak untuk selalu menulis laporan mengenai pengalamannya sepanjang satu hari itu. Sajak yang berjudul ‘Ibu dan Facebook’ sebelum diikut sertakan dalam lomba, pun dianggap orangtuanya biasa saja. Karena sudah puluhan puisi dan cerita yang telah dibuat si kecil. Dari soal ingin punya apartemen, ayah pindah kantor, dan seabrek ide lain yang dituangkan ke dalam tulisan.

Membaca buku, mengarang, diskusi mengenai suatu masalah, sudah biasa di keluarga ini.
Jadi, kalau ada yang bertanya: Bagaimana cara ‘menebus’ waktu yang sudah terpakai untuk ber-facebook-ria, menurut saya sungguh sangat didramatisir. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, saya kira.

Segila-gilanya seorang ibu kecanduan sesuatu (kecuali narkoba), mestinya ia tidak akan sampai mengorbankan waktu kebersamaan bersama anak-anaknya. Bila ia juga tidak terpaksa mencari nafkah sehingga mau tidak mau meninggalkan anak-anaknya di rumah. Apalagi kalau cuma ‘facebook’ yang bisa dilakukan dimana saja di rumah, bahkan ketika menemani mereka tidur.

Selama jadi wartawan, kadang saya juga melemparkan pertanyaan yang membuat dahi narasumber saya berkerut tidak keruan. Bahkan saya juga pernah dimarahi oleh pak mantan menteri Ginanjar Kartasasmita di depan forum karena menanyakan sesuatu yang rupanya menyinggung ‘keamanan’ departemen yang dipimpinnya.

Tapi ketika pertanyaan ‘aneh’ dilemparkan kepada saya, ternyata saya sebal juga. Boleh-boleh saja sih bertanya, tanpa mengabaikan esensi dari pertanyaan. Tapi bagaimana bila dipakai kata yang biasa saja, tidak usah bombastis begitu.

Akhirnya, apa mau dikata, saya hidup di alam ‘demokrasi’. Orang bebas bertanya dan berpendapat apa saja. Tapi, menurut saya, pertanyaan tersebut sudah menghakimi lebih dulu tanpa didukung data dan riset yang melatar belakangi peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

Macan saja menyusui anaknya, masa manusia memberikan anaknya susu binatang? Lho...apa hubungannya? *pusing mode on*

NAMAKU ADALAH...

Setelah status saya berubah menjadi ibu dari dua orang putri, memang saya belum pernah menemukan satu perempuan pun yang keberatan dipanggil dengan nama suaminya atau nama anak sulungnya. Mereka malah beranggapan saya terlalu mengada-ada ketika saya mengungkapkan bahwa saya akan merasa lebih nyaman bila mereka memanggil saya dengan nama saya sendiri.

Kedua orangtua saya tentu bukannya tanpa maksud memberikan sebuah nama kepada saya ketika saya lahir di dunia. Dan, seperti orangtua kebanyakan, nama yang diberikan kepada sang anak tentu mempunyai arti khusus di hati mereka. Sebagai contoh nama saya sendiri, Reko Alum. Dalam bahasa Bima, asal ayah saya, Reko berarti selendang. Adapun Alum dalam bahasa Batak, asal ibu saya, berarti baik hati. Maka, di sini sudah jelas terungkap harapan kedua orangtua saya adalah kelak saya akan menjadi manusia yang baik budi pekertinya.

Adalah suatu hal yang absurd buat saya ketika sampai sebuah kenyataan bahwa nama indah dan sarat makna pemberian kedua orangtua saya itu tiba-tiba menjadi hilang dan tidak berarti kala berada dalam sebuah komunitas. Dalam setiap perkumpulan keluarga (bukan dari pihak saya), saya selalu diperkenalkan dengan nama lain yang sama sekali asing bagi saya.

Padahal, menurut saya, akan lebih manusiawi bila nama saya diganti dan diambil dari nama ibu yang melahirkan saya. Jati diri saya seakan terusik dengan penempelan nama baru yang tanpa kompromi itu. Dengan nama baru itu saya dipaksa menjadi orang lain. Dengan nama baru itu pula secara tidak langsung saya diminta untuk menghilangkan sebagian unsur dari identitas di dalam diri saya, mereka ingin saya mengaku berasal dari etnis lain (saya bukan penganut faham rasialisme). Ini adalah penyimpangan realitas yang berat. Dan, saya kira saya tidak akan pernah bisa menerimanya dengan segala konsekuensinya. Saya tidak punya cukup kemampuan untuk membohongi diri saya sendiri.

TANPA bermaksud melebih-lebihkan, bagi saya nama yang melekat dalam diri seseorang mutlak tidak bisa dipisahkan dari persoalan jati diri manusia. Sebab, saya kira dari sebuah namalah proses identifikasi diri seseorang dimulai. Budaya patriarki mempunyai kontribusi besar dalam urusan ganti-mengganti nama ini. Sayangnya, perempuan sendiri seolah pasrah dengan keadaan tersebut, bahkan menganggapnya sebagai hal yang tidak perlu dibahas dengan panjang lebar.

Dalam berbagai kasus, justru perempuan sendiri yang melegitimasi budaya "mengganti nama" ini. Pada acara-acara pertemuan, seperti arisan, PKK, dan sebagainya, para ibulah yang lebih dulu memopulerkan nama suami atau nama anak sulung mereka. Padahal, menurut saya, status perkawinan tidak perlu diumumkan ke seantero jagat dengan cara mengganti atau bahkan menghilangkan nama yang sudah menjadi identitas diri sejak lahir.

Menyingkat nama seorang perempuan yang sudah menikah dan menambahkannya dengan nama pasangannya tentulah terasa tidak adil. Perempuan dipaksa tenggelam dan bersembunyi di balik bayangan pasangannya. Membaca tulisan ini, tidak heran bila tebersit di pikiran mereka: Pusing-pusing amat sih mikirin nama! Bagi saya, persoalannya bukan itu.

Nama bagi seorang anak manusia memiliki arti begitu dalam. Ia bisa menunjukkan dari mana seseorang berasal, siapa yang melahirkannya, tanah kelahirannya. Bukan hanya itu, saya kira dengan nama kita bisa mengetahui siapa manusia pemilik nama itu, watak, segala prestasi yang diraihnya, serta kehidupannya. Menurut saya, nama tidak bisa seenaknya saja diubah atau diganti karena menyangkut aspek kehidupan seseorang.

Namun, pengecualian bisa saja terjadi bila si pemilik nama sudah tidak nyaman dengan namanya sendiri. Sah-sah saja bila ia ingin menggantinya dengan nama lain. Sekarang, coba sejenak kita bayangkan bila seorang Ibu Theresa yang telah begitu terkenal dengan kebaikan hatinya, tiba-tiba diganti namanya oleh sekelompok orang yang merasa berhak melakukannya. Apabila ia masih hidup, tentu akan banyak sekali orang yang kebingungan mencarinya. Lantas, bagaimana pula bila mantan Ibu Presiden menyingkat namanya menjadi M Taufik Kiemas. Orang yang tidak tahu pun akan menyangka bahwa saat itu Presiden republik ini dijabat oleh seorang laki-laki.

JADI, menurut saya, tidak ada alasan apa pun bagi seorang perempuan untuk menyingkat namanya atau mengganti namanya dengan nama pasangannya hanya karena ia telah terikat dengan sebuah lembaga perkawinan. Bagaimanapun, nama yang diberikan orangtua sejak lahir mencerminkan jati diri seorang manusia sebagai suatu individu.

Dengan menyandang nama sendiri, kita tidak akan pernah bisa melupakan peran kedua orangtua dalam hal mengantar kita ke muka Bumi. Kita tidak bisa meniadakan begitu saja nama yang sudah dipilihkan oleh orangtua kita, apalagi hal itu dilakukan di luar kehendak kita sendiri, ditambah dengan adanya pihak ketiga yang merasa punya hak untuk itu.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnyalah perempuan berbangga hati memakai namanya sendiri untuk menunjukkan bahwa ia ada dan berpotensi untuk melakukan segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan sesama.

*Tulisan ini sudah pernah dimuat di rubrik 'Swara', Harian KOMPAS 2004

IBU DAN PERAWAN TUA

Ini memang cerita lama. Cerita yang tiada habisnya, selama perkawinan masih menjadi tujuan utama dalam hidup seorang perempuan.

Tari, seorang sahabat lama, tahun ini usianya genap 38 tahun. Angka ini bagaikan sesosok monster yang menakutkan baginya. Sama mengerikannya dengan julukan perawan tua yang mungkin saja sebentar lagi akan diselempangkan orang padanya.

Tari, anak perempuan pertama dari enam bersaudara. Empat orang saudaranya telah menikah, tinggal dia dan adik bungsunya laki-laki. Ia mapan dari segi ekonomi, bekerja di sebuah perusahaan minyak asing dengan penghasilan lumayan dan jenjang karir yang prospektif. Sayangnya, ia masih saja selalu mengeluh ada yang kurang dalam hidupnya. ‘Berat jodoh’ begitu stigma yang ia tempelkan pada dirinya sendiri, setelah berulang kali gagal menjalin hubungan serius dengan lawan jenisnya. Hubungan yang tentunya diharapkan bisa mengantarnya ke dalam suatu lembaga bernama perkawinan. Suatu dunia yang secara kasat mata tampak begitu ideal dan terhormat, bukan saja di mata keluarga tetapi juga di masyarakat.

Menjadi seorang perempuan berarti ia harus menikah, dan baru bisa dikatakan ‘perempuan yang betul-betul perempuan’ apabila ia juga mampu melahirkan anak, terutama yang berjenis kelamin laki-laki untuk dijadikan penerus nama keluarga dan menjadi seorang ibu. Doktrin ini telah sejak lama ditanamkan para ibu kepada anak perempuannya secara turun temurun.

Nasehat yang berulang kali dilontarkan ini akhirnya membuat hampir sebagian besar perempuan menganggap bahwa menikah dan menjadi seorang ibu adalah mutlak terjadi dalam kehidupan mereka. Kebanyakan perempuan menganggap peranan itu sebagai tujuan mereka, terutama karena tidak adanya alternatif serta adanya pemuliaan peran ibu…Pemuliaan seperti itu bagaikan memberi lapisan gula pada pil kina yang pahit, dan selama generasi ke generasi berikutnya perempuan terjebak menginginkan sedikit gula tersebut…(Kamla Bhasin, Nighat Said Khan, Gramedia Pustaka Utama, Kalyanamitra).

Menurut Tari, tekanan terberat yang terjadi pada dirinya justru berasal dari keluarganya sendiri, terutama sang ibu yang tidak henti-hentinya menuntut agar ia segera melepas masa lajangnya. Ia mengaku lelah setiap kali harus berbohong pada ibunya bahwa dirinya sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, dan meminta ibunya untuk bersabar. Sementara ia sendiri sebetulnya sudah pasrah, akan menikah atau tidak nantinya. Menurutnya mencari teman hidup tidak semudah memilih buku di toko buku. Maka seringkali untuk sejenak melupakan masalahnya itu, ia betah berlama-lama minum kopi dari satu kedai ke kedai lainnya.

Bisa dimengerti bahwa seorang ibu ternyata juga memiliki beban tersendiri menghadapi kenyataan akan anak gadisnya yang belum juga dilamar orang. Para ibu (baca perempuan) sejak kecil sudah diberi tahu oleh orang tua dan gurunya di sekolah bahwa ia akan mendapatkan kemuliaan hidup hanya dalam perkawinan. Dia diajarkan bagaimana menjadi perempuan yang diinginkan laki-laki. Karena, hanya bersama laki-laki yang kelak menjadi suaminya itulah hidupnya akan berarti, (Shirley Lie, 2005). Jadi ibu beranggapan bahwa anak perempuannya harus sepaham dengan dirinya apabila ingin berbahagia dalam hidupnya. Tapi akibatnya ibu seringkali lupa bahwa anak perempuannya itu adalah juga seorang manusia perempuan yang memiliki kekuasaan sebagai pribadi utuh atas dirinya, pikiran, perasaan dan tubuhnya. Perempuan yang berhak memutuskan pilihan hidupnya dalam bekerja, berorganisasi, berpakaian tertentu, berciuman, bersetubuh, tidak menikah, tidak hamil, bercerai dan menjadi ibu, dan seterusnya, (Arimbi Heroeputri, R Valentina, Debt Watch Indonesia).

Menikah atau tidak menikah adalah pilihan hidup seorang manusia. Tidak siapapun berhak menuntut seseorang untuk mengikatkan dirinya pada lembaga tersebut meskipun kehendak itu datang dari ibu kita sendiri, orang yang telah melahirkan kita. Sebab seperti yang pernah diutarakan Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, manusia bukan benda mati yang tujuan keberadaannya ditentukan oleh manusia lain. Manusia adalah pengada bebas yang mampu menentukan sendiri dan mentransendensi segala sesuatu yang membatasi dirinya.

Stigma perawan tua sampai detik ini memang masih bagaikan momok yang menyeramkan bagi setiap perempuan. Bukan hanya bagi si gadis yang belum menikah, tapi juga bagi ibu si gadis. Ibu akan bersedih hati melihat anak perempuannya masih saja sendiri. Karena bila sudah jadi perawan tua artinya tidak laku, ada yang salah dalam diri perempuan perawan tua, maka para bujangan atau suami-suami harus hati-hati bila berhubungan dengan perawan tua. Perempuan tidak kawin ini dianggap bisa memanfaatkan para bujangan untuk kesenangannya sendiri, atau bisa juga menjadi pengganggu rumah tangga orang. Meskipun si perawan tua memiliki jabatan yang bagus dan berpendidikan tinggi, atau baik budi pekertinya, tetap saja dia seorang perawan tua, konotasi yang sama ‘buruknya’ dengan seorang perempuan yang mempunyai ‘gelar’ janda. Status yang selalu saja mengundang bisik-bisik negatif di tengah masyarakat. Dengan demikian, rasanya nista sekali menyandang predikat perawan tua.

Oleh sebab itu harus diupayakan sebisa mungkin agar tidak sampai jadi perawan tua. Dan dengan alasan demi kebahagiaaan hidup sang anak itu tadi, seorang ibu bahkan tidak segan-segan mencari sendiri sosok laki-laki yang dianggapnya ideal sebagai pendamping hidup anak perempuannya. Seperti dikatakan Frederick Engel dalam bukunya Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara, ia mengatakan bahwa keputusan perkawinan bukanlah persoalan dua pihak, tapi persoalan ibu mereka. Ibu boleh jadi memiliki peran penting dalam menentukan jalan hidup seorang anak, lepas dari bahagia atau tidaknya si anak kelak. Sedangkan si anak cenderung tidak kuasa menolak keinginan sang ibu karena takut kualat, sebab ada kepercayaan bahwa letak surga berada di bawah telapak kaki ibu. Jadi apabila tidak menuruti ‘perintah bunda’, bisa-bisa nanti tidak mendapat tempat di surga, begitulah kira-kira.

Pertanyaannya sekarang, apakah balas budi seorang anak perempuan kepada ibunya harus selalu diwujudkan dalam bentuk sebuah pernikahan, beberapa orang cucu dan seterusnya? Apakah ada jaminan bahwa perkawinan merupakan kunci kebahagiaan dan kesempurnaan hidup seorang perempuan? Seolah-olah bila hal itu tidak terpenuhi, genaplah seperti apa yang dikatakan St. Thomas bahwa perempuan adalah manusia yang tidak sempurna? Banyak contoh perkawinan yang didasari keterpaksaan berujung pada penderitaan seumur hidup (karena ada agama yang sama sekali tidak mengijinkan adanya perceraian apapun alasannya) dan perceraian.

Apabila akhirnya bercerai, bukankah beban hidup seorang perempuan terutama yang tidak terbiasa hidup mandiri akan jauh lebih berat? Ia harus sendirian membesarkan atau bahkan menafkahi anaknya, belum lagi status janda yang disandangnya. Tidak mudah menjalani hidup seperti itu ditengah masyarakat yang masih percaya bahwa seorang janda identik dengan pengganggu, perusak rumah tangga orang. Ruang geraknya menjadi lebih terbatas lagi, karena kemana pun ia melangkah, orang selalu mencurigainya kalau ia punya maksud tertentu ketika berinteraksi dengan lawan jenisnya. Kalau sudah begitu, apakah benar seorang ibu ingin anak perempuannya berbahagia dengan melakukan perkawinan?

Masih ada cara-cara lain yang bisa ditempuh seorang anak perempuan untuk menunjukkan baktinya pada orangtuanya tanpa harus mengorbankan apa yang sebenarnya sudah menjadi pilihan hidupnya. Banyak hal yang bisa dilakukan seorang perempuan ketimbang sekedar kuliah atau duduk-duduk saja sambil menunggu jodoh datang meminang. Menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama adalah tujuan hidup yang sangat mulia. Misalnya saja dengan mengangkat anak asuh untuk menemaninya di hari tua. Ibu pun tidak perlu kuatir anaknya tidak mampu mengarungi hidup tanpa seorang ‘penjaga’ di sisinya, dan si anak perempuan juga akan lebih tenang menjalankan kehidupannya tanpa harus terbebani bahwa ia tidak bisa menyenangkan hati ibunya. Karena ternyata di luar pernikahan, ia mampu menunjukkan diri bahwa ia adalah manusia utuh yang berarti bagi orang-orang di sekelilingnya.

*tulisan ini sudah pernah dimuat di Jurnal Perempuan online

KAKEK BAGIR BUKAN BAPAK BAGIR

Serafina adalah murid sekolah dasar kelas empat. Umurnya sembilan tahun. Hobinya baca buku, main violin, piano, gitar dan keyboard. Dua alat musik terakhir dipelajarinya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Walaupun baru kelas empat SD, Serafina sudah mendapatkan pelajaran PKN, singkatan dari Pendidikan Kewarganegaraan. Saat saya masih seumurnya, pelajaran soal kewarganegaraan diberikan pada saat siswa duduk di bangku sekolah menengah atas (sekarang SMU), dikenal dengan mata pelajaran tata negara. Itupun hanya diberikan pada murid yang mengambil jurusan A3 atau Ilmu Sosial.

Begitulah. Jaman memang sudah berubah. Meskipun saya juga masih bingung apa manfaat pelajaran kewarganegaraan bagi anak umur delapan tahun, nyatanya setiap sekolah memang diwajibkan memasukkan mata pelajaran tersebut ke dalam kurikulum.

Suatu hari, Serafina akan menghadapi ulangan harian PKN. Maka sehabis mandi sore, ia pun menyiapkan buku PKNnya untuk dibaca-baca. “Ma, aku isi latihan soal ini dulu ya, nanti baru menghafal.” Katanya. “Tentu saja sayangku.” Jawab saya.

Serafina banyak bertanya mengenai isi jawaban soal-soal yang sedang dikerjakannya. Buat saya, materi pelajaran PKN ini lumayan susah. Salah satunya adalah pertanyaan mengenai siapa ketua Mahkamah Konstitusi.

Memberikan jawaban nama si ketua tidak masalah. Persoalannya adalah pertanyaan selanjutnya yang diajukan si anak. “Mahkamah Konstitusi itu artinya apa sih ma?”

Di buku ada uraian seadanya. Tapi anak terus menuntut penjelasan logis mengenai Mahkamah Konsitusi yang terkait dengan kehidupan anak seusianya. Ah, bagaimana saya menjelaskan arti institusi ini pada anak umur delapan tahun? Mungkin teman-teman ada yang bisa membantu.

Pertanyaan berikutnya adalah siapa ketua Mahkamah Agung. Saya mulai sedikit kesal. “Serafina, jawaban pertanyaan kamu itu tentu sudah ada semua di buku. Coba dilihat lagi.” ujar saya. “Mahkamah Agung itu apa ma…?” Dia terus menyerocos tanpa perduli ucapan saya sebelumnya. Hari sudah semakin larut dan Serafina tidak henti-hentinya minta penjelasan panjang lebar tentang lembaga-lembaga peradilan itu.

Maka saya katakan padanya, “Tulis saja dulu siapa nama ketua MA, nanti kalau pekerjaanmu sudah beres, kita bisa ngobrol-ngobrol lagi soal Mahkamah Agung.” “Kalau begitu, siapa ketua MA, ma?” Waduh, saya juga lupa tuh siapa ketua MA yang sekarang. “Hmm..kalau tidak salah sih pak Bagir Manan. Tapi mama lupa, dia itu udah pensiun atau belum ya. Soalnya waktu itu dia sudah disuruh pensiun tapi dia tidak mau.” Jawab saya.

Serafina tidak menjawab. Dia malah sibuk membolak-balik buku PKNnya. “Ha…lihat ini ma…” teriaknya tiba-tiba. “Ini kan gambar pak Bagir Manan?” katanya sambil menunjukkan kepada saya foto Bagir Manan dengan seluruh rambutnya yang sudah memutih, yang ada di bukunya. “Bener ma?’ ulangnya minta penegasan. “Tentu saja sayangku. Itu benar pak Bagir Manan.”

Lantas Serafina tertawa terkekeh-kekeh. Dengan gayanya yang sok tua dia berujar,” Mama…mama…ini sih bukan pak Bagir Manan, tapi kakek Bagir Manan. Lihat tuh ma, dia udah tua banget ya. Mestinya dia kayak pak Sardjono (guru violin Serafina). Kalau sudah tua, jadi guru biola aja…”

Saya kehabisan kata mendengar komentar Serafina. Kebayang nggak sih kakek Bagir Manan mengajar biola di Mahkamah Agung? *

Pondokgede, Jum'at 28 November 2008